Kamis, 21 Juni 2012

Emas Sebagai Alat Tukar


Jika kita berbicara mengenai emas, maka yang terbayang adalah benda kuning yang bersinar, bahan baku utama perhiasan wanita. Padahal emas, tidak seperti logam lainnya, mempunyai sejarah dan tempat khusus dalam peradaban manusia. Selama berabad-abad emas dianggap sebagai logam paling berharga berdampingan dengan perak. Banyak kebudayaan menyatakan emas sebagai simbol kerajaan dan kebangsawanan. Secara instingtif manusia telah menyadari tingginya nilai emas bahkan sebelum emas mengambil peran sebagai alat tukar. Warnanya yang terang, tingkat kelangkaan yang tinggi namun mudah ditempa, telah menjadikan emas bahan baku favorit pengrajin perhiasan kerajaan. Penemuan koin emas pada situs penggalian Kuil Artemis di Epheseus menandakan bahwa pada awalnya emas dipergunakan sebagai simbol ritual dan status kerajaan. Koin emas ini tidak mempunyai tulisan atau "legenda" sehingga para ahli menduga koin-koin
ini dicetak sebagai lambang kerajaan atau simbol pembesar negeri ketimbang sebagai alat pertukaran. Ada banyak teori seputar bangsa yang pertama mencetak koin emas. Tetapi terobosan terpenting dilakukan oleh bangsa Lydia. Bangsa Lydia mencetak koin-koin emas dengan standarisasi kadar emas yakni campuran 63% emas dan 27% perak, yang kemudian dikenal sebagai electrum. Standar kadar emas inilah yang memastikan koin emas bangsa Lydia diterima secara luas dan memicu digunakannya emas sebagai alat tukar. Sistem standarisasi kadar emas kemudian diikuti oleh banyak bangsa. Dibawah pengawasan pemerintah, organisasi-organisasi individu mulai mencetak koin emas dengan kadar yang telah ditetapkan oleh penguasa setempat. Bangsa-bangsa seperti Yunani mulai mencetak koin emas dan menggunakannya sebagai alat tukar dalam perdagangan dengan bangsa lain. Diikuti oleh bangsa Roma yang mencetak koin emas dengan berat 7 gram yang dikenal dengan nama aureus. Satu aureus sama dengan 25 denarii - koin perak - dan kemudian melahirkan sistem kurs. Bangsa Persia adalah bangsa pertama yang mencetak dirham dan dinar. Satu dirham mempunyai berat satu mithqal (4.25gr). Sistem inilah yang kemudian diadopsi oleh bangsa-bangsa Timur Tengah seperti Arab Saudi, Afrika Utara dan Persia. Standarisasi kadar emas dinar (4.25gr - 22karat) dimulai pada pemerintahan
Khalifa Abdul bin Malik, dari dinasti Umayyad. Hingga hari ini, standar kadar emas dirham tidak berubah dan sudah dibakukan oleh WITO (World Islamic Trade Organization). Berbeda dengan berbagai jenis koin emas lainnya, saat ini dinar dan dirham masih digunakan secara luas oleh negara-negara Timur Tengah (seperti negara Arab Saudi) dan sebagian negara Afrika Utara. Tetapi baru pada tahun 1284 saat negara Venesia mencetak ducat (koin emas pertama Venesia) sistem emas sebagai alat tukar di adopsi oleh negara-negara Eropa lainnya. Lahirlah sistem mata uang berbasiskan koin emas. Masing-masing dengan standar kadar emas yang berbeda. Contohnya kerajaan Inggris memperkenalkan mata uang guinea. Melalui penggunaan koin emas inilah, bangsa Eropa pada abad pertengahan menikmati kemajuan perdagangan. Kesulitan menentukan nilai satu komoditas seperti pada saat sistem perdagangan barter hilang dengan sendirinya. Para pedagang mulai berdagang hingga negeri jauh seperti Cina melalui sistem koin emas sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1750-1870 telah terjadi kelangkaan perak dibanyak negara Eropa. Ini disebabkan karena perang dan perdagangan dengan bangsa Cina. Bangsa Eropa lebih banyak membeli komoditas dari bangsa Cina namun tidak sebaliknya. Selain itu bangsa Eropa terlibat perang satu sama lain yang banyak menghabiskan cadangan emas dan perak guna membiayai angkatan bersenjata. Pada masa inilah koin-koin yang dicetak baik emas maupun perak semakin kecil dengan berat yang semakin ringan. Sebagai contoh, pada awal kemunculannya, 1 guinea mempunyai standar berat 8.4 gr - 8.5g tetapi pada tahun 1680 diturunkan menjadi 8.3gr - 8.4gr. Walaupun demikian nilai emasnya terus menerus naik, dari 22 shilling per 1 guinea hingga mencapai angka tertinggi yakni 30 shilling per 1 guinea. Kondisi kelangkaan perak yang kemudian disusul dengan kelangkaan emas inilah yang kemudian mendorong bangsa Eropa mengadopsi sistem uang kertas Amerika yang dulu dikenal dengan nama Demand Note. Setelah perang dunia I semakin banyak negara-negara mengadopsi sistem uang kertas dan logam, yang menandai berakhirnya koin emas sebagai alat pertukaran resmi. Saat ini hanya sedikit negara saja yang masih bertahan menggunakan mata uang emas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar